TTM (Tentang Tahta Mahameru)

4 komentar


Bismillah..
 
Menemukannya telah terduduk manis di salah satu sudut kamar dengan masih terbungkus rapi. Kuamati tulisan yang ada di bungkusan cokelat tersebut dan seketika girang tak terkira saat membacanya. Perlahan dan hati-hati kubuka bungkusannya, khawatir membuat kesalahan yang akan merusak apa yang terbungkus di dalamnya. Berhasil membukanya dengan baik dan tralaaaaaaaa sebuah buku yang lebih tepatnya disebut novel berjudul “TAHTA MAHAMERU” yang merupakan sebuah karya darimu..mb Azzura Dayana..

Lama kuamati sampul depannya dengan gradasi warna birunya yang indah sambil tak lupa mengucap hamdalah berulang kali. Pertama kalinya dalam hidup saya hingga detik ini mendapatkan sebuah novel terbaru dari penulisnya langsung lengkap dengan ‘surat cinta’ di dalamnya. Trimakasih tak terhingga kuucapkan padamu mbku yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung (^_^)..mb yana..yang telah bermurah hati dan menyempatkan diri mengirimkannya kepadaku.

Saat itu juga kuputuskan langsung membacanya. Mengabaikan dulu beberapa tugas kuliah di beberapa hari ke depan, toh kepalaku memang sedang butuh kata lain dari sekedar mengerjakan tugas, heheee.. huuuummmmm segera membuka lembar demi lembar, part demi part, dan tak terasa menamatkannya dalam waktu sehari. Inilah yang akan kutuliskan mengenai apa yang telah kubaca itu

 Sangat menikmati novel ini,..mungkin itu yang bisa kukatakan sebagai pembaca. Menikmati suguhan setting tempat yang ada dalam cerita ini yang kesemuanya seolah bisa tergambar jelas di pelupuk mata, mengalir bersama barisan huruf yang terangkai.  Walaupun judulnya tertulis Tahta Mahameru, namun bukan hanya Mahameru itu sendiri yang tercerita di dalamnya. Ada tiga tempat luar biasa yang dimiliki Indonesia yang tertuang dalam cerita ini yaitu Borobudur, Ranu Pane dan Mahamerunya, serta Tanjung Bira yang letaknya di Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Bagaimana bentuk Borobudur yang serupa teratai dari atas (hal:2), membayangkan sejuknya danau Pane dengan bentuknya yang menyerupai daun telinga, ada semilir angin laut yang khas dari pantai indah yang pasirnya laksana tepung terigu di Bira, dan keindahan-keindahan lainnya yang kutemukan dalam novel ini.

Tidak hanya terkesan dengan setting tempatnya, namun penggabungan antara Indonesia bagian barat dan timur atau mungkin lintas budaya Indonesia barat dan timur yang sangat terasa dengan bahasa para tokoh di dalamnya. Ada Faras dengan aksen jawa tengahnya, ada Mareta yang ber elu-gue dan Aros dengan logat Bira nya yang kental. Semakin sempurna menyeret saya semakin larut dan menghabiskan lembar demi lembar tanpa terasa.

Bukan hanya bercerita mengenai keindahan semata, namun juga berbagi nilai kehidupan dan keyakinan mengenai Sang Pencipta. Tidak selamanya orang yang jahat akan menjadi jahat selamanya karena kehidupan senantiasa menawarkan jalan untuk menemukan kebaikan. Itu yang kusimpulkan dari tokoh Ikhsan yang dengan petualangan dan perenungannya akhirnya menemukan nilai kebaikan itu. Dibantu oleh orang terbaik yang dihadirkan dalam kehidupannya yaitu Fikri dan Faras. Mereka menggambarkan bagaimana sebuah ikatan persaudaraan/persahabatan/ukhuwah tidak hanya sebatas kata namun menjadi makna yang mungkin tidak harus tertulis dalam kata.

Menjadi haru saat cerita mulai melibatkan sosok Ando’ dan Ambe’. Saat  Ando’ membuatkan teh saat Ikhsan dan Aros berkunjung menemui Ambe’. Bagaimana seorang Ando’ yang sudah cukup tua tetap berusaha menjamu tamu dari anaknya. Seolah bisa membayangkan adegan percakapan itu, melihat ibu yang sudah cukup tua dengan perlahan meletakkan gelas berisi minuman untuk disuguhkan -seketika ingat ibuuuu sendiri..hiks- dan saat Ambe’ bersama Ikhsan menyaksikan pelepasan pinisi. Gaya bercerita yang bisa membuat saya seolah membayangkan rangkaian huruf-huruf itu terjadi di depan mata saya. 

 “Saya jatuh hati pada masyarakat Bugis, Ambe’. Jatuh hati melihat karakter ulung mereka. Jatuh hati pada butta panrita lopi ini. Kekuatan dan keindahan menyatu di sini. Rasanya saya mendapatkan hal-hal berharga
Jatuh hati tidak selalu harus terjadi pada hubungan dua anak manusia, antara pria dan wanita, namun ada jenis jatuh hati lain yang rupanya ditemukan Ikhsan dalam potongan kisah di dalam novel ini dan itu indaaahh..

Menemukan sedikit kebingungan saat Ikhsan berdialog dengan pak Arman mengenai pembuatan pinisi. Ikhsan memanggil pak Arman dengan sebutan Ambe’. Sepengetahuan saya, sebutan Ambe’ biasanya digunakan untuk memanggil bapak/ayah, untuk posisi pak Arman biasanya dengan sebutan puang. 

Puas dibawa berselancar secara imajinasi mengagumi Bira, kita dibawa beralih ke Ranu Pane. Bahkan pada part 27 memang dituliskan dari Makassar hingga Ranu Pane. Mengagumi penggambaran danau Pane hingga pendakian ke Semeru untuk mencapai puncak Mahameru. Tergambar cukup detail bagaimana jika pendakian dilakukan untuk mencapai Mahameru. Saya yang belum pernah memiliki pengalaman pendakian sebagaimana Faras dan kawan-kawannya, ikut deg-degan sepanjang pendakian yang mereka lakukan.  Kembali nilai kehidupan dituliskan di sini saat Faras tengah memandangi Ranu Kombolo di hadapannya, dan dari belakang Ikhsan mengatakan “Aku tidak pernah berniat menaklukkan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa!”. Segala sesuatu yang kita lakukan memang sudah seharusnya semata-mata karenaNya..

Ahhh tak mampu lagi menulis lebih banyak, itulah sedikit kesan yang bisa kuceritakan dengan sederhana setelah membaca Tahta Mahameru. Jika ada sebuah lagu berjudul “Antara Anyer dan Jakarta”, maka dalam novel ini kukatakan antara “Borobudur-Tanjung Bira (Bulukumba,Makassar)-Ranu Pane&Mahamerunya”. Mengekplorasi ketiga tempat tersebut dengan kisah tokoh-tokoh yang tidak kalah menariknya.



NB:
Tulisan ini lahir karena mendapat PR dari yang 'empu'nya karya #Lirik mb Yana. Cuma bisa nulis kaya’ gini,..ntah ini sesuai dengan PR yang diberikan atau belum. Jadi mohon maaf dan pemakluman atasnya yaaa.. :)