Bismillah..
Menemukannya
telah terduduk manis di salah satu sudut kamar dengan masih terbungkus rapi. Kuamati
tulisan yang ada di bungkusan cokelat tersebut dan seketika girang tak terkira
saat membacanya. Perlahan dan hati-hati kubuka bungkusannya, khawatir membuat
kesalahan yang akan merusak apa yang terbungkus di dalamnya. Berhasil membukanya
dengan baik dan tralaaaaaaaa…
sebuah buku yang lebih tepatnya disebut novel berjudul “TAHTA MAHAMERU” yang
merupakan sebuah karya darimu..mb Azzura Dayana..
Lama kuamati sampul depannya dengan gradasi warna birunya yang indah sambil tak lupa
mengucap hamdalah berulang kali. Pertama kalinya dalam hidup saya hingga detik
ini mendapatkan sebuah novel terbaru dari penulisnya langsung lengkap dengan ‘surat
cinta’ di dalamnya. Trimakasih tak terhingga kuucapkan padamu mbku yang baik
hati, tidak sombong dan rajin menabung (^_^)..mb yana..yang telah bermurah hati
dan menyempatkan diri mengirimkannya kepadaku.
Saat
itu juga kuputuskan langsung membacanya. Mengabaikan dulu beberapa tugas kuliah
di beberapa hari ke depan, toh kepalaku memang sedang butuh kata lain dari
sekedar mengerjakan tugas, heheee.. huuuummmmm segera membuka lembar demi
lembar, part demi part, dan tak terasa menamatkannya dalam waktu sehari. Inilah
yang akan kutuliskan mengenai apa yang telah kubaca itu…
Sangat
menikmati novel ini,..mungkin itu yang bisa kukatakan sebagai pembaca. Menikmati
suguhan setting tempat yang ada dalam cerita ini yang kesemuanya seolah bisa
tergambar jelas di pelupuk mata, mengalir bersama barisan huruf yang terangkai.
Walaupun judulnya tertulis Tahta
Mahameru, namun bukan hanya Mahameru itu sendiri yang tercerita di dalamnya. Ada
tiga tempat luar biasa yang dimiliki Indonesia yang tertuang dalam cerita ini
yaitu Borobudur, Ranu Pane dan Mahamerunya, serta Tanjung Bira yang letaknya di
Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Bagaimana bentuk
Borobudur yang serupa teratai dari atas (hal:2), membayangkan sejuknya danau
Pane dengan bentuknya yang menyerupai daun telinga, ada semilir angin laut yang
khas dari pantai indah yang pasirnya laksana tepung terigu di Bira, dan
keindahan-keindahan lainnya yang kutemukan dalam novel ini.
Tidak hanya terkesan
dengan setting tempatnya, namun penggabungan antara Indonesia bagian barat dan
timur atau mungkin lintas budaya Indonesia barat dan timur yang sangat terasa dengan
bahasa para tokoh di dalamnya. Ada Faras dengan aksen jawa tengahnya, ada
Mareta yang ber elu-gue dan Aros
dengan logat Bira nya yang kental. Semakin sempurna menyeret saya semakin larut
dan menghabiskan lembar demi lembar tanpa terasa.
Bukan hanya bercerita
mengenai keindahan semata, namun juga berbagi nilai kehidupan dan keyakinan
mengenai Sang Pencipta. Tidak selamanya orang yang jahat akan menjadi jahat selamanya
karena kehidupan senantiasa menawarkan jalan untuk menemukan kebaikan. Itu yang
kusimpulkan dari tokoh Ikhsan yang dengan petualangan dan perenungannya
akhirnya menemukan nilai kebaikan itu. Dibantu oleh orang terbaik yang
dihadirkan dalam kehidupannya yaitu Fikri dan Faras. Mereka menggambarkan
bagaimana sebuah ikatan persaudaraan/persahabatan/ukhuwah tidak hanya sebatas
kata namun menjadi makna yang mungkin tidak harus tertulis dalam kata.
Menjadi haru saat cerita
mulai melibatkan sosok Ando’ dan Ambe’. Saat Ando’ membuatkan teh saat Ikhsan dan Aros
berkunjung menemui Ambe’. Bagaimana seorang Ando’ yang sudah cukup tua tetap
berusaha menjamu tamu dari anaknya. Seolah bisa membayangkan adegan percakapan
itu, melihat ibu yang sudah cukup tua dengan perlahan meletakkan gelas berisi
minuman untuk disuguhkan -seketika ingat ibuuuu sendiri..hiks- dan saat Ambe’
bersama Ikhsan menyaksikan pelepasan pinisi. Gaya bercerita yang bisa membuat
saya seolah membayangkan rangkaian huruf-huruf itu terjadi di depan mata saya.
“Saya
jatuh hati pada masyarakat Bugis, Ambe’. Jatuh hati melihat karakter ulung
mereka. Jatuh hati pada butta panrita lopi ini. Kekuatan dan keindahan menyatu
di sini. Rasanya saya mendapatkan hal-hal berharga…”
Jatuh hati tidak selalu harus
terjadi pada hubungan dua anak manusia, antara pria dan wanita, namun ada jenis
jatuh hati lain yang rupanya ditemukan Ikhsan dalam potongan kisah di dalam
novel ini dan itu indaaahh..
Menemukan sedikit
kebingungan saat Ikhsan berdialog dengan pak Arman mengenai pembuatan pinisi.
Ikhsan memanggil pak Arman dengan sebutan Ambe’. Sepengetahuan saya, sebutan
Ambe’ biasanya digunakan untuk memanggil bapak/ayah, untuk posisi pak Arman
biasanya dengan sebutan puang.
Puas dibawa berselancar secara
imajinasi mengagumi Bira, kita dibawa beralih ke Ranu Pane. Bahkan pada part 27
memang dituliskan dari Makassar hingga Ranu Pane. Mengagumi penggambaran danau
Pane hingga pendakian ke Semeru untuk mencapai puncak Mahameru. Tergambar cukup
detail bagaimana jika pendakian dilakukan untuk mencapai Mahameru. Saya yang
belum pernah memiliki pengalaman pendakian sebagaimana Faras dan
kawan-kawannya, ikut deg-degan sepanjang pendakian yang mereka lakukan. Kembali nilai kehidupan dituliskan di sini
saat Faras tengah memandangi Ranu Kombolo di hadapannya, dan dari belakang
Ikhsan mengatakan “Aku tidak pernah
berniat menaklukkan gunung. Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari
pengabdian… pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa!”. Segala sesuatu yang kita lakukan memang sudah seharusnya
semata-mata karenaNya..
Ahhh tak mampu lagi menulis
lebih banyak, itulah sedikit kesan yang bisa kuceritakan dengan sederhana
setelah membaca Tahta Mahameru. Jika ada sebuah lagu berjudul “Antara Anyer dan
Jakarta”, maka dalam novel ini kukatakan antara “Borobudur-Tanjung Bira
(Bulukumba,Makassar)-Ranu Pane&Mahamerunya”. Mengekplorasi ketiga tempat
tersebut dengan kisah tokoh-tokoh yang tidak kalah menariknya.
NB:
Tulisan ini lahir karena mendapat PR dari yang 'empu'nya karya #Lirik mb Yana. Cuma bisa nulis kaya’ gini,..ntah ini
sesuai dengan PR yang diberikan atau belum. Jadi mohon maaf dan pemakluman
atasnya yaaa.. :)